Krisis
air bersih akibat perubahan iklim kian dirasakan masyarakat khususnya
di perkotaan. Sudah saatnya kita lakukan gerakan massal menabung air
serta memanfaatkan air secara efisien.
Perubahan iklim merupakan
sesuatu yang dampaknya sulit untuk dihindari terhadap berbagai segi
kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim adalah terjadinya
kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Perubahan iklim bukan lagi
semata-mata wacana, namun sudah dapat kita rasakan dampaknya, seperti
banjir, gelombang pasang, dan kekeringan. Kota-kota pesisir kita
merupakan kawasan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim
ini. Di seluruh Indonesia, terdapat 60 kota yang rawan banjir dan
terdapat 30 kota rawan tsunami. Berangkat dari fakta tersebut, penting
untuk disiapkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak Perubahan
Iklim (Joessair Lubis, “Peduli Lingkungan, Peduli Tata Ruang”, 2011).
Isu
krisis air bersih sebagai salah satu dampak perubahan iklim telah lama
didengungkan. Namun demikian, potret kondisi air kita semakin suram
saja. Secara relatif, seiring meningkatnya populasi manusia,
ketersediaan air bersih berkurang akibat semakin besarnya kebutuhan akan
air. Hingga tak pelak nantinya akan terjadi “perang perebutan” untuk
mendapatkan sumber daya ini. UNDP tahun 2006 pernah mengungkapkan bahwa
ketersediaan air baku di tiga provinsi, yaitu DKI, DIY dan Jatim telah
memasuki ambang kritis (<1000 m3/kapita/tahun).
Badan
Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta (2010) menyatakan bahwa
tingginya kebutuhan air di Jakarta, yang tidak diimbangi dengan
penambahan jaringan dan pasokan, ditengarai akan memicu defisit air dari
tahun ke tahun. Saat ini saja, total kebutuhan air baku di DKI Jakarta
mencapai 17.700lt/det. Dari hasil analisis, defisit air baku akan
terjadi sepanjang tahun. Tahun 2010 saja, defisit air mencapai 6.857 lt/
det, lalu pada tahun 2015 diperkirakan akan terjadi defisit sekitar
13.045 lt/det dan pada tahun 2020 defisit akan mencapai 28.370 lt/det.
Akibat angka kebutuhan air yang akan terus meningkat ini, jika tidak
dilakukan upaya alternatif penyediaan sumber air baku, maka pada 2025
warga Jakarta diperkirakan akan benar-benar kesulitan mendapatkan air
bersih. Kondisi ini semakin lengkap dengan masih lemahnya proteksi
sumber air baku, tingginya kepadatan penduduk, kurangnya kepedulian
terhadap lingkungan dan perubahan yang begitu cepat, yang secara
keseluruhan tidak sebanding dengan kemampuan ekosistem alam untuk
mencapai keseimbangan baru.
Indonesia perlu belajar dari
Singapura. Negara yang dikelilingi laut tersebut mengimpor 40 persen
kebutuhan air bersihnya. Selain mengimpor, kebutuhan air bersih
Singapura diperoleh dari reservoir dan daerah tangkapan air lainnya
sebesar 20 persen, penyulingan air laut 10 persen, dan pengolahan air
terpakai 30 persen. Salah satu proyek mereka yang spektakuler adalah
Marina Barrage, yakni sebuah bendungan raksasa yang berfungsi sebagai
penampungan air. Bendungan tersebut telah menjadi pusat atraksi publik
karena dirancang dengan sedemikian menarik. Bandingkan kondisi tersebut
dengan Indonesia dengan begitu banyak sungai dan perairan yang sangat
luas. Di Jakarta, misalnya, ada 13 sungai dengan air melimpah yang
mengalir begitu saja ke laut tanpa termanfaatkan dan parahnya
sungai-sungai tersebut justru seperti menjadi tong sampah. Cadangan air
tanah dan danau juga habis disedot untuk keperluan rumah tangga dan
industri. Air hujan yang seharusnya bisa ditampung dan diolah justru
terbuang percuma dan malah menjadi banjir.
”Menabung Air” untuk Menyiasati Kekeringan
Tidak
bisa dipungkiri lagi, krisis air bersih dirasakan masyarakat di banyak
tempat, terlebih di perkotaan. Efisiensi pemanfaatan air tanah adalah
hal mutlak yang harus dilakukan. Indonesia merupakan kawasan yang
dikelilingi oleh daerah pegunungan di mana begitu banyak sungai mengalir
di situ. Pada musim hujan, banyak air sungai yang mengalir begitu saja
ke laut tanpa dimanfaatkan atau ditampung terlebih dahulu hingga pada
saat kemarau sungai menjadi kering dan tak ada lagi air yang dapat
diambil.
Diperlukan gerakan massal menabung air guna menyiasati
kekeringan. Menabung air dapat dilakukan dengan pembuatan sumur-sumur
resapan, berupa sumur gali yang berfungsi menampung, meresapkan, dan
mengalirkan air hujan yang jatuh di permukaan tanah, bangunan, juga atap
rumah. Dengan adanya sumur resapan, air hujan bisa lebih efektif
terserap ke dalam tanah. Diperlukan pula sumur-sumur resapan yang mampu
memberikan dampak penampungan dan pengendalian secara cepat, misalnya
pembangunan dan atau revitalisasi danau-danau besar, danau-danau kecil
(embung), dam penahan, dam pengendali, selain juga kegiatan rehabilitasi
dan reboisasi dari hutan yang ada. Dengan adanya embung-embung
penampung air, kita dapat memanen air pada saat datang musim hujan, dan
menyimpannya di embung tersebut untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan
pada musim kemarau/kering.
Selain efisiensi, perlu juga
pemanfaatan sumber daya air alternatif lainnya. Kita dapat memanfaatkan
air laut melalui proses desalinasi dengan bantuan teknologi Reverse
Osmosis (RO). Teknologi RO adalah teknologi yang bekerja dengan cara
memindahkan zat (larutan) dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi
melalui sebuah membran. Teknologi ini digunakan untuk pemurnian air
dengan mengubah air laut menjadi air tawar hingga siap diminum.
Contoh
nyata, program penyulingan air laut dengan Reverse Osmosis (RO) telah
dilakukan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol sebagai langkah alternatif
solusi keterbatasan pasokan air. Melalui instalasi RO-nya, setiap hari
sebanyak 7.000 m³ air laut dapat diubah menjadi 5.000 m³ air tawar.
Sisanya, sekitar 2.000 m³ berupa air berkadar garam tinggi yang
digunakan untuk kolam apung, salah satu wahana wisata di Ancol. Jika
diolah lebih lanjut, air berkadar garam tinggi ini akan dapat
menghasilkan garam dengan jumlah berlimpah. Hal ini tentu sangat
bermanfaat karena Indonesia saat ini masih harus mengimpor garam dari
negara lain untuk mencukupi kebutuhan domestik. Pembangunan instalasi
desalinasi ini merupakan langkah tepat karena berdampak positif bagi
masyarakat Jakarta karena bukan hanya sebagai alternatif solusi
keterbatasan pasokan air saat ini, melainkan juga sebagai langkah
antisipasi krisis air yang mengancam kawasan ibu kota.
Daur Ulang Air Sebagai Alternatif
Banyak
kota yang memiliki kebijakan bahwa semua air limbah harus diolah
sebelum dibuang. Air hasil olahan tersebut kalau bisa digunakan kembali,
sayang jika dibuang begitu saja. Daripada dibuang, lebih baik diolah
lebih lanjut sehingga dapat menghasilkan kualitas yang sama dengan air
bersih. Contohnya sejak 2008, BPLHD Provinsi Jawa Barat telah menetapkan
tiga kantor dinas pemerintahan yaitu Dinas Tata Ruang dan Permukiman
(Distarkim), Dinas Pendidikan (Disdik), dan Dinas Pendapatan Daerah
(Dispenda) untuk menjadi proyek percontohan daur ulang limbah air
domestik karena konsumsi air di ketiga dinas itu terbilang tinggi.
Program ini diharapkan mampu memanfaatkan 60% dari 80% air limbah bekas
pakai. Jika program ini berhasil, diharapkan percontohan ini dapat
menjadi gerakan yang lebih masif. Selain kantor-kantor dinas, hotel,
industri, dan rumah tangga, mereka juga menargetkan akan mendaur ulang
limbah air di lingkungan domestiknya. Saat ini mereka juga sedang
mengkaji pemanfaatan air hujan yang jatuh di atap dengan menggunakan
talang dan tangki, dengan demikian, jumlah air yang dihemat akan menjadi
lebih besar dan tidak ada lagi krisis air saat kemarau.
Potensi
air bersih hasil daur ulang air limbah lainnya yang juga tak kalah
tinggi adalah daur ulang air wudu. Kemajuan teknologi memungkinkan
sejumlah hal terwujud, termasuk mendaur ulang air yang semula berasal
dari limbah, bercampur dengan kotoran, benda najis, menjadi air bersih.
Namun apakah penggunaan air daur ulang itu halal? Tak perlu khawatir,
sebagaimana yang dipaparkan di dalam artikel Republika online (03/06),
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yaitu air daur ulang
adalah suci menyucikan jika diproses sesuai dengan ketentuan fikih.
Sebagai contoh adalah Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB)
yang telah mengembangkan teknologi daur ulang air wudu. Yayasan Pembina
Masjid (YPM) Salman ITB melalui Unit Riset Lembaga Pemberdayaan Umat
(Salman Institute for Community Development) dengan dukungan Kementerian
Riset dan Teknologi RI melalui program SIPTekMan (Sistem Insentif
Teknologi dan Manajemen) tahun anggaran 2003 telah melakukan serangkaian
riset untuk mendapatkan teknologi alternatif yang murah untuk mendaur
ulang air bekas wudu. Sebelumnya Pondok Pesantren Daarut Tauhid juga
sudah melakukan hal serupa. Mereka telah menerapkan teknologi daur ulang
yang dapat digunakan untuk mendaur ulang air buangan rumah tangga
seperti air bekas cuci pakaian, bekas mandi, bekas cuci piring, dan
sebagainya.
Gerakan efisiensi air ini perlu dimasyarakatkan
untuk menjaga agar kebutuhan air generasi berikutnya dapat tetap
terpelihara. Pilihan ada di tangan kita, apakah air yang ada di bumi ini
akan kita habiskan untuk kita sendiri, atau kita mau simpan untuk anak
cucu kita nanti. Jangan jadikan penghematan air bukan hanya sebatas
slogan belaka, banyak pihak telah bergerak, banyak pula pihak yang telah
beraksi nyata, kapan giliran kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar