Senin, 12 Maret 2012

Menyiasati Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketersediaan Air

Krisis air bersih akibat perubahan iklim kian dirasakan masyarakat khususnya di perkotaan. Sudah saatnya kita lakukan gerakan massal menabung air serta memanfaatkan air secara efisien.
Perubahan iklim merupakan sesuatu yang dampaknya sulit untuk dihindari terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Perubahan iklim bukan lagi semata-mata wacana, namun sudah dapat kita rasakan dampaknya, seperti banjir, gelombang pasang, dan kekeringan. Kota-kota pesisir kita merupakan kawasan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim ini. Di seluruh Indonesia, terdapat 60 kota yang rawan banjir dan terdapat 30 kota rawan tsunami. Berangkat dari fakta tersebut, penting untuk disiapkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak Perubahan Iklim (Joessair Lubis, “Peduli Lingkungan, Peduli Tata Ruang”, 2011).

Isu krisis air bersih sebagai salah satu dampak perubahan iklim telah lama didengungkan. Namun demikian, potret kondisi air kita semakin suram saja. Secara relatif, seiring meningkatnya populasi manusia, ketersediaan air bersih berkurang akibat semakin besarnya kebutuhan akan air. Hingga tak pelak nantinya akan terjadi “perang perebutan” untuk mendapatkan sumber daya ini. UNDP tahun 2006 pernah mengungkapkan bahwa ketersediaan air baku di tiga provinsi, yaitu DKI, DIY dan Jatim telah memasuki ambang kritis (<1000 m3/kapita/tahun).

Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta (2010) menyatakan bahwa tingginya kebutuhan air di Jakarta, yang tidak diimbangi dengan penambahan jaringan dan pasokan, ditengarai akan memicu defisit air dari tahun ke tahun. Saat ini saja, total kebutuhan air baku di DKI Jakarta mencapai 17.700lt/det. Dari hasil analisis, defisit air baku akan terjadi sepanjang tahun. Tahun 2010 saja, defisit air mencapai 6.857 lt/ det, lalu pada tahun 2015 diperkirakan akan terjadi defisit sekitar 13.045 lt/det dan pada tahun 2020 defisit akan mencapai 28.370 lt/det. Akibat angka kebutuhan air yang akan terus meningkat ini, jika tidak dilakukan upaya alternatif penyediaan sumber air baku, maka pada 2025 warga Jakarta diperkirakan akan benar-benar kesulitan mendapatkan air bersih. Kondisi ini semakin lengkap dengan masih lemahnya proteksi sumber air baku, tingginya kepadatan penduduk, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan dan perubahan yang begitu cepat, yang secara keseluruhan tidak sebanding dengan kemampuan ekosistem alam untuk mencapai keseimbangan baru.

Indonesia perlu belajar dari Singapura. Negara yang dikelilingi laut tersebut mengimpor 40 persen kebutuhan air bersihnya. Selain mengimpor, kebutuhan air bersih Singapura diperoleh dari reservoir dan daerah tangkapan air lainnya sebesar 20 persen, penyulingan air laut 10 persen, dan pengolahan air terpakai 30 persen. Salah satu proyek mereka yang spektakuler adalah Marina Barrage, yakni sebuah bendungan raksasa yang berfungsi sebagai penampungan air. Bendungan tersebut telah menjadi pusat atraksi publik karena dirancang dengan sedemikian menarik. Bandingkan kondisi tersebut dengan Indonesia dengan begitu banyak sungai dan perairan yang sangat luas. Di Jakarta, misalnya, ada 13 sungai dengan air melimpah yang mengalir begitu saja ke laut tanpa termanfaatkan dan parahnya sungai-sungai tersebut justru seperti menjadi tong sampah. Cadangan air tanah dan danau juga habis disedot untuk keperluan rumah tangga dan industri. Air hujan yang seharusnya bisa ditampung dan diolah justru terbuang percuma dan malah menjadi banjir.

”Menabung Air” untuk Menyiasati Kekeringan
Tidak bisa dipungkiri lagi, krisis air bersih dirasakan masyarakat di banyak tempat, terlebih di perkotaan. Efisiensi pemanfaatan air tanah adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Indonesia merupakan kawasan yang dikelilingi oleh daerah pegunungan di mana begitu banyak sungai mengalir di situ. Pada musim hujan, banyak air sungai yang mengalir begitu saja ke laut tanpa dimanfaatkan atau ditampung terlebih dahulu hingga pada saat kemarau sungai menjadi kering dan tak ada lagi air yang dapat diambil.

Diperlukan gerakan massal menabung air guna menyiasati kekeringan. Menabung air dapat dilakukan dengan pembuatan sumur-sumur resapan, berupa sumur gali yang berfungsi menampung, meresapkan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di permukaan tanah, bangunan, juga atap rumah. Dengan adanya sumur resapan, air hujan bisa lebih efektif terserap ke dalam tanah. Diperlukan pula sumur-sumur resapan yang mampu memberikan dampak penampungan dan pengendalian secara cepat, misalnya pembangunan dan atau revitalisasi danau-danau besar, danau-danau kecil (embung), dam penahan, dam pengendali, selain juga kegiatan rehabilitasi dan reboisasi dari hutan yang ada. Dengan adanya embung-embung penampung air, kita dapat memanen air pada saat datang musim hujan, dan menyimpannya di embung tersebut untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan pada musim kemarau/kering.

Selain efisiensi, perlu juga pemanfaatan sumber daya air alternatif lainnya. Kita dapat memanfaatkan air laut melalui proses desalinasi dengan bantuan teknologi Reverse Osmosis (RO). Teknologi RO adalah teknologi yang bekerja dengan cara memindahkan zat (larutan) dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi melalui sebuah membran. Teknologi ini digunakan untuk pemurnian air dengan mengubah air laut menjadi air tawar hingga siap diminum.

Contoh nyata, program penyulingan air laut dengan Reverse Osmosis (RO) telah dilakukan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol sebagai langkah alternatif solusi keterbatasan pasokan air. Melalui instalasi RO-nya, setiap hari sebanyak 7.000 m³ air laut dapat diubah menjadi 5.000 m³ air tawar. Sisanya, sekitar 2.000 m³ berupa air berkadar garam tinggi yang digunakan untuk kolam apung, salah satu wahana wisata di Ancol. Jika diolah lebih lanjut, air berkadar garam tinggi ini akan dapat menghasilkan garam dengan jumlah berlimpah. Hal ini tentu sangat bermanfaat karena Indonesia saat ini masih harus mengimpor garam dari negara lain untuk mencukupi kebutuhan domestik. Pembangunan instalasi desalinasi ini merupakan langkah tepat karena berdampak positif bagi masyarakat Jakarta karena bukan hanya sebagai alternatif solusi keterbatasan pasokan air saat ini, melainkan juga sebagai langkah antisipasi krisis air yang mengancam kawasan ibu kota.

Daur Ulang Air Sebagai Alternatif
Banyak kota yang memiliki kebijakan bahwa semua air limbah harus diolah sebelum dibuang. Air hasil olahan tersebut kalau bisa digunakan kembali, sayang jika dibuang begitu saja. Daripada dibuang, lebih baik diolah lebih lanjut sehingga dapat menghasilkan kualitas yang sama dengan air bersih. Contohnya sejak 2008, BPLHD Provinsi Jawa Barat telah menetapkan tiga kantor dinas pemerintahan yaitu Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Distarkim), Dinas Pendidikan (Disdik), dan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) untuk menjadi proyek percontohan daur ulang limbah air domestik karena konsumsi air di ketiga dinas itu terbilang tinggi. Program ini diharapkan mampu memanfaatkan 60% dari 80% air limbah bekas pakai. Jika program ini berhasil, diharapkan percontohan ini dapat menjadi gerakan yang lebih masif. Selain kantor-kantor dinas, hotel, industri, dan rumah tangga, mereka juga menargetkan akan mendaur ulang limbah air di lingkungan domestiknya. Saat ini mereka juga sedang mengkaji pemanfaatan air hujan yang jatuh di atap dengan menggunakan talang dan tangki, dengan demikian, jumlah air yang dihemat akan menjadi lebih besar dan tidak ada lagi krisis air saat kemarau.

Potensi air bersih hasil daur ulang air limbah lainnya yang juga tak kalah tinggi adalah daur ulang air wudu. Kemajuan teknologi memungkinkan sejumlah hal terwujud, termasuk mendaur ulang air yang semula berasal dari limbah, bercampur dengan kotoran, benda najis, menjadi air bersih. Namun apakah penggunaan air daur ulang itu halal? Tak perlu khawatir, sebagaimana yang dipaparkan di dalam artikel Republika online (03/06), Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yaitu air daur ulang adalah suci menyucikan jika diproses sesuai dengan ketentuan fikih. Sebagai contoh adalah Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) yang telah mengembangkan teknologi daur ulang air wudu. Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB melalui Unit Riset Lembaga Pemberdayaan Umat (Salman Institute for Community Development) dengan dukungan Kementerian Riset dan Teknologi RI melalui program SIPTekMan (Sistem Insentif Teknologi dan Manajemen) tahun anggaran 2003 telah melakukan serangkaian riset untuk mendapatkan teknologi alternatif yang murah untuk mendaur ulang air bekas wudu. Sebelumnya Pondok Pesantren Daarut Tauhid juga sudah melakukan hal serupa. Mereka telah menerapkan teknologi daur ulang yang dapat digunakan untuk mendaur ulang air buangan rumah tangga seperti air bekas cuci pakaian, bekas mandi, bekas cuci piring, dan sebagainya.

Gerakan efisiensi air ini perlu dimasyarakatkan untuk menjaga agar kebutuhan air generasi berikutnya dapat tetap terpelihara. Pilihan ada di tangan kita, apakah air yang ada di bumi ini akan kita habiskan untuk kita sendiri, atau kita mau simpan untuk anak cucu kita nanti. Jangan jadikan penghematan air bukan hanya sebatas slogan belaka, banyak pihak telah bergerak, banyak pula pihak yang telah beraksi nyata, kapan giliran kita?

Tidak ada komentar: