Mustikané wóng tuwå marang anak múng ånå ing laku kang gumati, gunêm kang rurúh, lan ujar kang manís. Gumatiné dumunúng ing têpå tuladhaníng tingkah laku. Gunêm lan ujar kawêngku ånå ing ucap kang istingarah numusi kajiwan, lan luhuríng budi pêkêrti.(Nguri-uri Basa Jawa)
Sebuah kalimat dalam bahasa Jawa yang
bermakna sejatinya orang tua kepada anaknya selain merawat juga
mengajarkan budi pekerti, memberikan contoh yang baik sehingga dapat
membekali anak dalam hidupnya. Sedari masih bayi kita diajari hal-hal
yang baik oleh orang tua kita, baik dalam hal perilaku fisik tapi juga
dalam cara berpikir. Tradisi dan agama memberikan peran penting dalam
hal ini. Setelah kita menjadi dewasa, apa yang telah ditanamkan akan
menjadi pondasi dalam hal berpijak sehingga dapat tercermin dalam
tindakan dan perkataan. Walau tak terpungkiri pengaruh lingkungan sosial
dan budaya juga berperan dalam membangun diri.
Bersikap dan
memandang segala sesuatu bisa sangat beragam untuk setiap orang. Kemauan
untuk mau belajar dan berani dalam mempelajari hal baru akan memperkaya
khasanah berpikir dan dapat berperan dalam menyikapi setiap masalah.
Sebebasnya dan seterbukanya dalam berpikir, ajaran dan teladan orang tua
atau sosok tertentu yang menggoreskan begitu dalam dalam benak dan hati
dapat menjadi benteng diri. Setidaknya dapat menjadi titik pijak akhir
jika merasa ragu atau salah langkah. Perjalanan hidup memperkaya dan
memperkokoh pribadi, sehingga pada saatnya kitalah bisa menjadi teladan
buat anak kita atau bahkan orang lain.
Mungkin pertanyaannya, “sudah pantaskah menjadi sosok yang diteladani?“.
Mengukur diri sendiri bisa jadi sangat subyektif atau malah
menyangkalnya karena kekurang percaya diri atau merasa belum pantas.
Jika ada orang lain meneladani kita, bisa jadi ada perilaku atau cara
berpikir kita yang sejalan dengan mereka atau karena tidak ada sosok
lain, atau malah faktor lain. Keniscayaan jika kita berusaha untuk terus
“move on” ke arah lebih positif baik diukur dari diri kita
atau orang lain. Menjadi positif adalah dasar, karena orang tua atau
orang yang dituakan mengajarkan itu sejak kita masih belum paham apa itu
hidup. Mungkin saat ini kita masih dalam posisi dan berkondisi dalam
wilayah “grey area” atau lebih gelap lagi, tapi bisa dipastikan “positif area” itu tampak walau kadang tersapukan kabut ego.
Meneladani itu sebuah proses mendekati sosok yang teladani. Menjadi teladan adalah mempertahankan sikap “positif” dan menginspirasi mereka untuk menuju “positif“.Sudah pantaskah?. Tanyakan ke mereka jawabannya, karena mereka yang menilai.
Sudah memantaskan dirikah?. Tanyakan ke diri kita, karena kita yang tau.
Kenapa mereka butuh teladan?. Karena negeri ini butuh sosok pemimpin yang bisa diteladani.
Meneladani sosok (manusia) hari ini
harus lebih jernih, hanya dengan emosi saja tidak cukup. Karena sikap
positif yang diagung-agungkan bisa jadi hanya kulit ari yang menutupi
yang sebenarnya. Hari ini wajah manis, teduh, santun, kharismatik,
humoris, pintar tidak sejalan dengan “attitude” aslinya. Tanyalah kepada
nalar, apa semua itu bisa dinalar atau tidak. Hidup ini butuh ilmu.
Berilmulah dan pijakan utamanya tetap pada Yang Maha Ilmu.
TULISAN INI DI KUTIP DARI http://www.mas-anto.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar