Minggu, 11 November 2012

MENELADANI

Mustikané wóng tuwå marang anak múng ånå ing laku kang gumati, gunêm kang rurúh, lan ujar kang manís. Gumatiné dumunúng ing têpå tuladhaníng tingkah laku. Gunêm lan ujar kawêngku ånå ing ucap kang istingarah numusi kajiwan, lan luhuríng budi pêkêrti.(Nguri-uri Basa Jawa
Teladan ?
Sebuah kalimat dalam bahasa Jawa yang bermakna sejatinya orang tua kepada anaknya selain merawat juga mengajarkan budi pekerti, memberikan contoh yang baik sehingga dapat membekali anak dalam hidupnya.  Sedari masih bayi kita diajari hal-hal yang baik oleh orang tua kita, baik dalam hal perilaku fisik tapi juga dalam cara berpikir. Tradisi dan agama memberikan peran penting dalam hal ini. Setelah kita menjadi dewasa, apa yang telah ditanamkan akan menjadi pondasi dalam hal berpijak sehingga dapat tercermin dalam tindakan dan perkataan. Walau tak terpungkiri pengaruh lingkungan sosial dan budaya juga berperan dalam membangun diri.
Bersikap dan memandang segala sesuatu bisa sangat beragam untuk setiap orang. Kemauan untuk mau belajar dan berani dalam mempelajari hal baru akan memperkaya khasanah berpikir dan dapat berperan dalam menyikapi setiap masalah. Sebebasnya dan seterbukanya dalam berpikir, ajaran dan teladan orang tua atau sosok tertentu yang menggoreskan begitu dalam dalam benak dan hati dapat menjadi benteng diri. Setidaknya dapat menjadi titik pijak akhir jika merasa ragu atau salah langkah. Perjalanan hidup memperkaya dan memperkokoh pribadi, sehingga pada saatnya kitalah bisa menjadi teladan buat anak kita atau bahkan orang lain.
Mungkin pertanyaannya, “sudah pantaskah menjadi sosok yang diteladani?“. Mengukur diri sendiri bisa jadi sangat subyektif atau malah menyangkalnya karena kekurang percaya diri atau merasa belum pantas. Jika ada orang lain meneladani kita, bisa jadi ada perilaku atau cara berpikir kita yang sejalan dengan mereka atau karena tidak ada sosok lain, atau malah faktor lain. Keniscayaan jika kita berusaha untuk terus “move on” ke arah lebih positif baik diukur dari diri kita atau orang lain. Menjadi positif adalah dasar, karena orang tua atau orang yang dituakan mengajarkan itu sejak kita masih belum paham apa itu hidup. Mungkin saat ini kita masih dalam posisi dan berkondisi dalam wilayah “grey area” atau lebih gelap lagi, tapi bisa dipastikan “positif area” itu tampak walau kadang tersapukan kabut ego.
Meneladani itu sebuah proses mendekati sosok yang teladani. Menjadi teladan adalah mempertahankan sikap “positif” dan menginspirasi mereka untuk menuju “positif“.
Sudah pantaskah?. Tanyakan ke mereka jawabannya, karena mereka yang menilai.
Sudah memantaskan dirikah?. Tanyakan ke diri kita, karena kita yang tau.
Kenapa mereka butuh teladan?. Karena negeri ini butuh sosok pemimpin yang bisa diteladani.
Meneladani sosok (manusia) hari ini harus lebih jernih, hanya dengan emosi saja tidak cukup. Karena sikap positif yang diagung-agungkan bisa jadi hanya kulit ari yang menutupi yang sebenarnya. Hari ini wajah manis, teduh, santun, kharismatik, humoris, pintar tidak sejalan dengan “attitude” aslinya. Tanyalah kepada nalar, apa semua itu bisa dinalar atau tidak. Hidup ini butuh ilmu. Berilmulah dan pijakan utamanya tetap pada Yang Maha Ilmu.
TULISAN INI DI KUTIP DARI http://www.mas-anto.com

Tidak ada komentar: