Senin, 28 Mei 2012

sebagian sejarah pengajaran al-quran

Ratusan ribu majelis pengajaran Al-Quran tersebar di seluruh penjuru nusantara. Sebagian besar di antaranya terlembagakan dalam pesantren-pesantren Al-Quran yang saling berkaitan dalam jejaring guru-murid.

Membaca Al-Quran tentu saja amalan yang sangat utama, apalagi di bulan Ramadhan yang merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Selain menjadi menambah perbendaharaan pahala kita, membaca Al-Quran juga menjadi hiburan batiniah tersendiri yang sangat mengasyikkan. Bacaan ayat-ayat suci yang mengalir lancar dari bibir seakan mengantarkan perbincangan kita dengan sang khaliq.

Namun sayangnya, seiring perkembangan zaman, ketika pengajian Al-Quran di kota besar tak lagi sesemarak dulu, lancar dan fasih membaca Al-Quran bukan lagi keterampilan yang mudah ditemukan pada generasi muda Islam. Bahkan maraknya pertumbuhan Taman Pendidikan Al-Quran dan berbagai metode pengajaran kilat Al-Quran tak mampu mengimbangi derasnya gelombang modernisasi dan westernisasi budaya.

Mempelajari Al-Quran –termasuk cara membacanya-- memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, dibutuhkan seorang guru khusus yang benar-benar mempunyai kemampuan dan otoritas (ijazah) pengajaran Al-Quran. Sebab proses pembelajaran Al-Quran menyaratkan adanya talaqqi (pertemuan guru – murid secara langsung) dalam prosesnya.

Sebab para ulama ahlul Quran meyakini, satu-satunya orang yang bisa membaca Al-Quran dengan fasih dan memahami isinya dengan benar adalah Rasulullah SAW yang mendapat pengajaran langsung dari malaikat Jibril. Sementara tingkat kebenaran bacaan orang-orang selain Rasulullah paling bagus hanya mendekati kefasihan beliau saja. Itu pun jumlahnya tidak banyak. Pengakuan akan ketepatan cara membaca Al-Quran tersebut harus mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW.

Itulah sebabnya, meski pada zaman Rasulullah banyak sahabat yang hafal Al-Quran, tetapi hanya beberapa orang saja yang mendapat mandat untuk mengajarkan Al-Quran. Artinya hanya mereka inilah yang bacaan Al-Qurannya diakui nyaris sempurna sehingga layak mengajari orang lain.

Demikian pula pada generasi berikutnya yang belajar langsung kepada Sahabat Nabi. Meskipun jumlah murid mereka dari kalangan tabiin cukup banyak, namun hanya sebagian kecil saja yang diberi otoritas (ijazah) untuk mengajarkan cara membaca Al-Quran. Demikian seterusnya pada generasi tabiut tabiin dan generasi-generasi sesudahnya hingga zaman modern yang terus menjaga ketersambungan silsilah sanadnya. Mereka inilah yang biasa disebut ulama ahlul Quran.

Bagaimana dengan murid-murid lain yang juga menyelesaikan pelajarannya, namun tidak sampai mendapat ijazah pengajaran Al-Quran. Tentu saja mereka tetap boleh menularkan ilmunya, meski tentu nilai keberkahannya tidak sama dengan yang mendapat ijazah pengajaran Al-Quran. Paling tidak, dari mereka bisa dipelajari cara membaca Al-Quran dengan benar, karena mereka juga mendapatkannya dari guru-guru yang memiliki ijazah pengajaran.
Muara Sanad Al-Quran
Di Indonesia sendiri saat ini berdiri puluhan ribu tempat pengajaran Al-Quran. Namun hanya sebagian saja yang benar-benar memiliki ijazah pengajaran Al-Quran. Sebagian lagi tidak memiliki ijazah, namun pernah belajar kepada ulama yang memiliki otoritas pengajaran Al-Quran. Ada juga yang dengan niat baik, membuka pengajaran Al-Quran, meski tidak memiliki ijazah dan tidak juga pernah berguru kepada orang yang mempunyai ijazah.

Tempat-tempat pengajaran Al-Quran, dan jaringannya, yang memiliki ijazah sanad Al-Quran biasanya berupa pesantren tahfizhul Quran (penghafalan Al-Quran). Dan uniknya hampir semua pesantren Al-Quran tersebut saling memiliki keterkaitan guru murid. Sebab menurut sejarahnya, seluruh tradisi penghafalan Al-Quran di pesantren-pesantren tradisional di nusantara ini hanya memang bermuara kepada beberapa nama.

K.H. Drs. Muntaha Azhari, pembantu rektor III Institut Perguruan Tinggi Ilmu-ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, yang pernah melakukan penelitian dalam bidang tersebut menyebutkan nama Mbah Kiai Moenauwir Krapyak (Yogyakarta), Syaikh Dimyathi Tremas (Pacitan – Jawa Timur) dan Syaikh As’ad Makassar sebagai tiga dari beberapa tokoh pembawa tradisi penghafalan Al-Quran sekaligus memiliki sanad bersambung hingga Rasulullah. Dari ulama ahlul Quran tersebutlah kebanyakan sanad pesantren Al-Quran modern bermuara.

Jika anda berminat belajar atau hendak merekomendasikan tempat belajar membaca dan menghafal Al-Quran yang memiliki silsilah bersambung hingga Rasululah SAW (meski tidak semuanya memiliki ijazah pengajaran), berikut ini ulasan singkat tempat-tempat tersebut.

Membahas pesantren Al-Quran modern tentu tidak lepas dari nama pesantren Krapyak, Yogyakarta. Sebab dari pesantren yang didirikan Mbah Moenauwir di awal abad 20 ini telah lahir banyak sekali pesantren alumni. Mbah Moenawwir mendalami pengajian Al-Qurannya selama enam belas tahun di di Makkah. Beberapa gurunya yang mengajarkan tahfizh, tafsir dan qiraat sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.

Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah: sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silsilah tersebut Kiai Moenauwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek.

Pesantren yang kini memiliki nama Al-Munawwir ini berada di bagian selatan pusat kota Yogyakarta. Saat ini pesantren yang telah membuka berbagai unit pendidikan formal, mulai tingkat taman kanak-kanak hingga ma’had ali (pesantren luhur), itu diasuh oleh generasi kedua : K.H. Zainal Abidin Munawwir, K.H Ahmad Warson (penyusun kamus Al-Munawwir), K.H. Attabik Ali, K.H. Najib (pengasuh tahfzhul Quran) dan beberapa kiai lain.
Dekat Sunan Kudus
Masih di Yogyakarta, ada juga beberapa pesantren Al-Quran yang merupakan pesantren alumni Krapyak. Yang paling terkenal adalah Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran, yang didirkan oleh al-maghfurlah K.H. Mufid Mas’ud. Pesantren yang berada di kilometer 12 jalan raya Kaliurang ini kini diasuh oleh putra-putri Mbah Mufid yang dipimpin oleh K.H. Mu’tashim Mufid.

Sementara di Jawa Tengah, jumlah pesantren Al-Quran lebih banyak lagi. Di kota Solo, misalnya, terdapat Pesantren Al-Muayyad yang diasuh oleh K.H. Abdul Rozaq Shofawi dan Pesantren Al-Qurani yang diasuh oleh K.H. Abdul Karim. Kedua pesantren yang sama-sama berlokasi di kampung Mangkuyudan, Purwosari, Laweyan Solo, itu memiliki sanad yang berbeda. Pesantren Al-Muayyad memiliki sanad dari Krapyak, Yogyakarta, sedangkan Pesantren Al-Qurani dari Tremas Pacitan.

Pesantren Al-Quran besar lain di Jawa Tengah terdapat di kota kretek, Kudus. Namanya Pesantren Yanbuul Quran yang berdiri di Kajeksan, tak jauh dari makam Sunan Kudus. Pesantren yang didirkan oleh al-maghfurlah K.H. Arwani Amin (alumnus Krapyak) itu kini diasuh oleh K.H. Ulil Albab dan K.H. Ulin Nuha itu juga menjadi salah satu pusat pengajaran Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah.

Tak jauh dari Kudus, di Demak juga berdiri beberapa pesantren Al-Quran. Yang paling terkenal adalah Pesantren Bustanul ‘Usyaqil Quran yang didirikan oleh K.H. Muhammad bin Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Desa Betengan. Kini Pesantren Betengan asuh oleh generasi kedua, K.H. Muhammad Harir. Ada juga Pesantren Nurul Quran, Sayung, yang diasuh oleh K.H. Masroni. Selain mengasuh pesantren Al-Quran, Kiai Masroni juga dikenal sebagai badal mursyid dalam Thariqah Syadziliyyah yang diasuh oleh Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan.

Sementara di timur Kudus, tepatnya di daerah Kajen, Pati, berdiri Pesantren Mathali’ul Huda yang diasuh oleh K.H. Nafi’ Abdillah dan adik-adiknya. Pesantren peninggalan Mbah Kiai Abdullah Salam itu juga dikenal sebagai tempat pengajaran Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah.

Selain itu masih ada lagi Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber di Wonosobo. Pesantren yang didirikan oleh almarhum K.H. Muntaha dan kini diasuh oleh K.H. Ahmad Faqih Muntaha itu juga membuka pendidikan umum mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Pesantren Al-Quran lain yang sangat terkenal adalah Pesantren Benda Bumiayu yang didirikan oleh K.H. Suhaimi (murid Mbah Munawwir, Krapyak).

Di luar pesantren, pengajaran Al-Quran juga digelar Masjid Kauman Semarang. Pengajian itu awalnya diasuh oleh al-maghfur lah Kiai Abdullah Umar, murid mbah Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Sepeninggal Mbah Abdullah Umar, pengajian itu diteruskan oleh rekan dan murid-muridnya.

Sementara di Jawa Barat pengajaran Al-Quran berpusat di beberapa kota. Yang paling terkenal adalah Cirebon yang mempunyai tiga pesantren Al-Quran besar dan beberapa pesantren Al-Quran kecil. Yang terbesar adalah Pesantren Al-Quran Kempek (diasuh oleh K.H. Umar Sholeh), Pesantren Gedongan diasuh oleh K.H. Amin Siradj (paman K.H. Said Aqil Siradj) dan Pesantren Tahfzhul Akhlaq di Winong yang diasuh K.H. Rohibulloh.
Beasiswa Penghafal Al-Quran
Selain Cirebon, di Indramayu juga terdapat pesantren Al-Quran yang sedang naik daun, yaitu Pesantren Tarbiyatul Wildan yang diasuh K.H. Mamduh. Pesantren tahfizhul Quran ini terkenal karena membuka program tahfizh untuk anak-anak. Pola pengajaran pesantren ini mengadopsi sistem pendidikan di pesantren induknya, Pesantren Tarbiyatul Wildan Sedayu, Gresik, Jawa Timur.

Selain dua kota tersebut pengajaran tahfizhul Quran juga terdapat di Manonjaya (Tasikmalaya), Pesantren Darit Tafsir Pagentongan, Bogor, dan Pesantren Al-Falah Bandung yang diasuh Ajengan Syahid.

Sedangkan di Provinsi Banten, pesantren Al-Quran paling terkenal adalah Pesantren Cidahu, Cadasari, Pandeglang, yang didirikan oleh almarhum Abuya Dimyathi. Ada juga Pesantren Cikaduen, Banten, yang merupakan peninggalan K.H. Damanhuri.

Dan yang paling gress adalah Pesantren Darul Quran Bulaksantri Karangtengah Tangerang, yang diasuh oleh muballigh kondang Ustadz Yusuf Mansur. Untuk menguatkan program penghafalan Al-Qurannya, pesantren yang terkenal dengan program beasiswa pembibitan penghafal Al-Qurannya mendatangkan pengajar-pengajar Al-Quran dari beberapa pesantren Al-Quran terkenal di Jawa Tengah, seperti Yanbu’ul Quran Kudus dan Usyaqil Quran Betengen, Demak.

Tak kalah dengan provinsi lainnya di pulau Jawa, provinsi Jawa Timur yang dikenal sebagai gudangnya pesantren besar juga memiliki ratusan pesantren Al-Quran. Beberapa di antaranya sangat terkenal dan menjadi tujuan santri Al-Quran dari berbagai daerah untuk mengaji, baik yang baru mulai menghafal maupun yang hendak tabarukan.

Selain Pesantren Tremas Pacitan yang sebagaimana Krapyak juga menjadi muara silsilah sanad Pesantren Al-Quran, pengajian tahfizhul Quran terkenal tersebar di Gresik, Jombang, Kediri, dan Langitan. Uniknya beberapa pesantren Al-Quran tersebut merupakan bagian atau unit dari pesantren-pesantren kitab terkenal seperti Ploso, Lirboyo, Langitan dan Tebuireng.

Di Jombang, misalnya, ada pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng diasuh oleh K.H. Musta'in Syafi'i, Pesantren Nurul Quran Bendungrejo (diasuh K.H. Jumail Ruslan), dan Pesantren Nurul Jadid Plandi (diasuh K.H. Abdul Afif). Sementara di Kediri program penghafalan Al-Quran terdapat di Madrasah Murottilil Quran (MMQ) yang diasuh K.H. Abdullah Kafa bih Machrus dan Pesantren Darussalam yang diasuh K.H. Maftuh Bashtul Birri. Keduanya berada dalam lingkungan Pesantren Lirboyo. Ada juga Pesantren Maunahsari, Bandar Kidul, yang didirikan oleh K.H. Mubasyyir Munzir.

Masih banyak lagi nama pesantren di Jawa Timur yang tidak akan cukup diceritakan di sini. Jika anda berminat mendapatkan informasinya, anda bisa menghubungi kantor cabang terdekat Jam’iyyatul Qurra wal Huffadz (JHQ) NU, organisasi sayap NU yang menaungi para qari dan qariah serta penghafal Al-Quran di Indonesia. (
Kang Iftah, pernah dimuat di majalah Alkisah edisi 19, terbit Ramadhan 1429/2008)

Tidak ada komentar: